2.8.12

Drama Asi – Part 1 The Oh-So-Common Problems

ASI saya tidak keluar. Belum panik, karena tahu sudah mempelajari  bahwa persediaan lemak di badan Rania mencukupi sampai 72jam setelah lahir dan Rania pun anteng saja. Kolostrum dan ASI baru keluar di hari kedua. Itu pun setelah diboost molloco dan rr.. saya lupa..  serta pijat payudara.

Tapi dari pertama menyusu, kok terasa perih. Perih sekali. Terutama payudara kanan. Rasanya seperti diparut – parut. Dan kok susah untuk latch on. Bolak balik saya panggil suster untuk bantu posisikan Rania. Dan kenapa susah untuk bibir bawah Rania dower ketika menyusu?

Kebingungan dimulai dari malam pertama Rania dibawa ke rumah. Malam itu, Rania menangis nyaris tanpa henti sampai jam 03.00 pagi. The husband menenangkan,  “Ngga papa. Sabar ya. Rania lagi menyesuaikan keadaan di rumah. Mungkin dia kepanasan.” Memang malam itu panas sekali. Saya berusaha tenang. Walau sulit. Saya masih kelelahan dari melahirkan sampai bolak balik menerima tamu yang menengok.
(Note to myself : kalau memberanikan diri punya anak kedua, khalayak ramai akan diberitahu H+ 1 bulan sajah, yesss?)

Tapi kebingungan campur dengan kelelahan terus terasa di minggu pertama. Konon bayi  baru lahir tidur dalam rentang waktu yang lama? Tidak dengan Rania. Dia akan menangis menit ke-5 ditaruh di box-nya. Please do not comment Rania bau tangan, atau ah.. ibunya saja yang ngga ”mendidik” anaknya supaya mau tidur sendiri. Believe me, I have tried every way. Even my mom said ”tangisan Rania seperti yang kesakitan”, ”coba ke dokter lagi” sampai ”ASI kamu kurang kali, Yut. Mungkin dia kelaparan jadi ngga bisa tidur. Mbok pakai susu tambahan”

Alhamdulillah.. syukur alhamdulillah pada waktu itu baik BAK dan BAB Rania muncul sesuai textbook. Mulai dari BAB yang kehitaman, sampai jumlah BAK per hari. Jadi saya bisa tegas bilang ke Ibu ”ASI aku cukup, Bu. Rania cuma ngga nyaman aja ”.

Di minggu pertama, tepatnya hari ke5 untuk kontrol pertama Rania ke dokter juga kami dihadapkan fakta harus berjuang menurunkan bilirubin yang mencapai 13,6. Syukurlah Rania tidak perlu sampai diterapi sinar. Karena dengan disusui dan dijemur, perlahan bilirubinnya menurun. Konon bayi kuning tidur all the time? Tidak dengan Rania. She cried all the time. Lack of sleep. Tidak siang, tidak malam, Rania akan bangun atau menangis kalau tidak lepp di payudara saya. Despite penampakan saya yang saat itu seperti zombie dengan mata bengkak dan seluruh post labour issues yang saya alami, yang saya khawatirkan adalah Rania. Karena ada perkataan Ibu saya yang terus terekam di kepala ”bayi umur harian itu harusnya hanya tidur – nyusu – buang air. Karena dengan tidurnya itu dia tumbuh”

Tapi ada lagi pukulan berikutnya ketika kunjungan ke dokter anak lagi. Di satu sisi, kami bersyukur angka bilirubinnya berangsur normal. Tapi setelah Rania turun berat 300 gram, ternyata berat badannya turun lagi 100 gram. That was a lot for a little baby.  Sampai terlihat tulang di dadanya. Hal yang belum terlihat hari – hari kemarin. Saya luar biasa sedih. Lengkap pukulannya oleh suster yang langsung berkata dengan nada ngga enak ”Anaknya disusui ngga sih, Bu?”.  Sambil menggendong kembali Rania dari timbangan, air mata saya pun menetes tidak bisa berhenti.

Langsung ke nursery room karena lagi lagi, Rania menangis juga (yeaa.. i know.. gimana ngga nangis .. hla emaknya nangis gitu). Menyusui Rania dengan rasa terparut parut di puting, rasa gremet gremet di hati. DSA saya lapori malah cenderung tenang – tenang saja. ”Ngga papa. Tiap anak beda. Yang penting susui saja kapan anaknya mau ya.”

Itulah yang saya tahu. Saya pegang. Saya coba bersabar :
  • ”emang awalnya perih gitu.. nanti juga kebiasa dan ngga perih lagi” – jadilah saya menyusui. Berjam – jam.. regardless puting (terutama kanan) sering luka, berdarah dan  sempat bernanah. Dan yang dimaksud saya berjam jam.. benar benar kurang lebih 20 jam sehari. Rania akan nangis keras ketika saya tinggal untuk mandi saja. Makan? Disuapi suami. Karena saya memangku dan menyusui Rania.
  • ”namanya bayi kan dulu nyaman di kandungan, sekarang di dunia luar dia ketakutan” – So I did. Mendekap dan menyusui Rania, tidur dalam keadaan duduk karena saya belum tahu dan belum berani menyusu lay down position
  • ”semangat menyusui ya. Indah kan menyusui itu” – iya.. semangat. Iya.. menyusui indah. Walau dengan keadaan seperti itu, kalau Rania sempat mengeluarkan senyum, rasa nyaris putus asa itu akan hilang dan berganti dengan semangat.
  • ”jangan lupa pijat payudara” – always.. tiap mandi pagi sore. Puting yang luka dirawat dengan cream Purelan. Dikompres air hangat.
  • ”ayo.. yang happy.. yang relax.. biar ASInya banyak. Makan ASI Booster dong”. Saya mau bilang.. terus terang susah untuk happy. Untuk relaks. Otak bisa memerintahkan untuk relaks. Tapi badan? ASI booster? Saya sampai mohon supaya the husband minta ke kakaknya untuk meresepkan salah satu merk supplemen ASI booster. Sampai titik, the husband bilang stop. Kemudian saya makan semua yang dibilang ASI booster. Dari kacang ijo sampai pare.

Tapi bukan berarti saya tidak sedih. 

Sedih. Sedih luar biasa untuk Rania. Sampai pernah terlintas a little tiny tought pengen minta resep obat tidur buat Rania, supaya dia bisa tidur dengan tenang. Karena kasihan dan sedih Rania (bukan saya) tidak bisa istirahat. How can she grow?

Sedih. Sedih luar biasa. Ketika the husband harus kembali ke Bandung sementara saya tetap di Jakarta. Tinggallah saya sendiri. Oh iya, tentu sebenarnya tidak sendiri. Ada Ibu dan kakak – kakak saya. Tapi I felt really alone. Selain Ibu saya yang membantu memandikan Rania (supaya saya bisa mandi juga), saya seperti terisolir dari dunia.

Sedih. Sedih sampai sesak. Apakah saya termasuk 1 dari 1000 ibu yang mempunyai low milk supply? I learn from many sources tentang marmet, breast compression. Tapi kok sepertinya itu tidak menyelesaikan apa yang saya hadapi.

The husband dalam pamitnya mencium saya, meminta saya sabar, dan janji akan kembali untuk kami ikut kelas kelas AIMI

xoxo

JJ

No comments: