*warning : it’s a long and quite boring post
Prolog
Saya orangnya jarang marah. Tapi sekalinya marah (konon menurut para mantan subordinates) nyeremin. Padahal kalau marah, saya tidak teriak teriak lho. Tidak ada kata – kata kebon binatang or what-so-ever. Malah volume suara saya seperti orang ngobrol biasa, atau paling naik sedikit… tapi nadanya dingin menusuk!
Babak 1 – Where it all began
Pada akhir Februari, datang tagihan sebuah kartu kredit yang saya miliki. Disana tertera tagihan atas pembelanjaan -katakanlah di Butik A- senilai sekian rupiah. At the time, saya benar – benar tidak ingat pernah menggesekkan kartu di butik tersebut. Perasaan, saya sudah lama sober dari kebiasaan gampang menggesek.
Kemudian saya telepon call center kartu kredit tersebut. Tujuan saya menelepon adalah apakah bisa tahu lokasi butik tersebut. Karena kalau tahu alamat butiknya, mungkin saya bisa ingat kembali transaksi yang dilakukan. Namun dari pihak call center hanya bisa memberikan informasi bahwa pembelian dilakukan di Jakarta dan untuk ladies apparel. Informasi yang minim dan tidak membantu saya untuk dapat mengingat.
Kemudian saya tanya, kalau mau melakukan dispute / sanggahan atas transaksi tersebut, maksimal berapa lama sejak tanggal transaksi. Dijawab maksimal 30 hari. Karena hari saya menelepon sudah mepet hari ke-30 sejak tanggal transaksi, saya putuskan untuk melakukan sanggahan. Dari pihak call center meminta saya fax : KTP, kartu kredit, tagihan terakhir dan transaksi yang disanggah dan memberi tahu bahwa proses sanggahan adalah 45 hari kerja. Saya terima semua informasi tersebut, dan saya fax semua yang diminta. Keseluruhan tagihan pun saya bayar lunas.
Babak 2 – Where they messed up
Di bulan Maret, saya masih beberapa kali menggunakan kartu kredit tersebut. Dan di pertengahan Maret itu juga akhirnya saya ingat, memang betul saya belanja di Butik A.
Kembali saya telepon call center dengan maksud untuk membatalkan sanggahan. Pihak call center menjawab saya kembali harus kirim fax : KTP, kartu kredit, transaksi yang batal disanggah. Saya sempat bilang, apakah tidak cukup pemberitahuan lisan melalui telepon ini? Toh pembicaraan direkam. Karena tidak bisa, dan sebagai pemegang kartu kredit yang kooperatif (ehem), saya kembali fax semua yang diminta.
Babak 3 – The explotion
Tanggal 20 April saya terima tagihan kartu kredit tersebut, a bit wonder karena tertera tagihan sejumlah Rp.30ribu dengan keterangan copy sales draft fee. Apakah ini?
Tanggal 21 April, janjian pacaran sama the husband di Mal. Karena the husband masih terjebak macet di tol dalam kota , saya melipir ke sebuah merchant. Ketika bayar pakai kartu kredit tersebut, mbak kasir bilang apakah ada kartu lain karena yang ini ada keterangan please contact call center. Setelah menyelesaikan pembayaran, keluar dari merchant tersebut saya langsung telepon call center.
Telepon saya pertama diangkat oleh... sebut saja : CS1. Saya tanya kenapa kartu kredit saya diblokir dan mumpung sekalian ingat, kenapa ada biaya sales draft di tagihan terakhir saya. Butuh waktu 10 menit (10 menit kalau nunggu di telepon lama banget lho.. coba dirasa sendiri deh) untuk CS 1 menjawab bahwa kartu saya diblokir sebagai bagian dari proses sanggahan dan 30rb adalah biaya melakukan sanggahan.
Krik... saya katakan, tidak pernah diberi tahu akan 2 hal tersebut. Lagipula, di bulan Maret kan saya sendiri sudah membatalkan sanggahan tersebut. CS1 cek lagi (kali ini 7 menitan) dan bilang, laporan pembatalan sanggahan saya tidak diterima. Lebih lanjut, katanya kalau blokir kartunya mau dibuka, harus fax surat permintaan pembukaan blokir.
That’s it. Saya meradang. Saya bilang bahwa : saya sudah melakukan fax pembatalan, kartu saya diblokir tanpa pemberitahuan, ada biaya yang juga tanpa pemberitahuan, dan sekarang harus buat surat pembukaan blokir?? Dimana letak masuk akalnya? Saya bilang mending saya tutup kartu kredit, kelar masalah. Tapi sebelumnya saya mau bicara dengan supervisor CS1.
CS1 sempat tanya keperluannya apa bicara dengan supervisor, yang saya jawab mungkin saya bisa dapat penjelasan yang lebih baik. Saya lihat sekilas, durasi sudah sampai 18 menit. CS1 berkata ”mohon tunggu sebentar”... daaaan sampai menit ke 44 belum juga tersambung *dapet salam dari pulsa*
Dari menit 30 juga saya sudah tidak sabar luar biasa. Saya tahu bahwa walau yang terdengar adalah jingle iklan, orang call center dapat mendengar suara saya. Jadi saya sengaja tetap bicara : ”Anda mau biarkan saya tunggu berapa lama? Saya tunggu.. jangan khawatir”, ”saya baru saja lakukan pembayaran penuh atas tagihan terakhir. Silakan dilihat”
Menit ke-55 telepon saya diputus oleh pihak call center. Kenapa saya tahu? Karena terdengar CS1 salah men-switch board dan hubungan telepon putus. Oke lah tak disengaja. Tapi saya tunggu 5 menit untuk itikad mereka telepon balik ke saya pun tak ada (they have my whole data, right?).
Kepalang basah, nyebur aja sekalian... saya telepon lagi call center. Kali ini terhubung dengan CS2, dimana saya jelaskan tadi terputus bicara dengan CS1 dan saya minta disambungkan ke supervisor. Ternyata harus ulang verifikasi data. Itu oke lah.. tapi diminta cerita ulang kejadian? Insane. Dan entah kenapa, telepon kembali terputus.
Ohoho... yu jual, ai beli!
Saya telepon lagi call center, berbicara dengan CS3. Kembali saya harus verifikasi data. Tapi kemudian saya hanya bilang begini “Ini telepon saya ketiga. Total sudah 1 jam lebih saya telepon. Saya rasa sudah cukup saya buang waktu dan pulsa, sudah cukup itikad baik dari saya untuk mencoba menyelesaikan masalah ini. Anda punya seluruh data saya. Sekarang saya gantian ingin melihat itikad baik dari pihak Anda untuk menyelesaikan masalah ini. Saya tunggu telepon dari supervisor Anda. Kalau sampai malam ini saya tidak ditelepon, saya akan buat surat pembaca ke harian nasional” *garang binti ngancem*
At the time the husband already arrived. Marah – marah gitu sumpah deh bikin laper. Jadinya kami menuju area restaurant di lantai LG. Sesaat akan keluar dari lift, ada telepon nomer tidak dikenal ke handphone saya. Aha! It was the supervisor (TS).
Sebagian besar pembicaraan adalah yang tersebut di atas. Saya pun masih kekeh apa hak penerbit kartu untuk blokir kartu tanpa pemberitahuan kepada pemegang kartu. Kemudian TS bilang saya harus buat surat yang intinya memuat 2 hal :
§ Minta dibuka blokir kartu kredit
§ Ada pernyataan yang berbunyi ”untuk ke depannya, saya akan bertangggung jawab atas transaksi yang saya lakukan”
Reaksi saya : tambah ngamuk. Saya bilang, “saya tidak mau buat surat itu. Pihak Anda kok yang blokir. Tidak beri tahu saya. Anda saja yang buka blokirnya. Dan juga, coba lihat record pembayaran saya. Apakah ada sedikitpun tanda saya orang yang tidak bertanggung jawab dalam melakukan pembayaran tagihan? Rasanya hampir selalu tiap tagihan datang saya bayar lunas. Bahkan tagihan yang masih dalam proses sanggahan pun saya bayar full.” *ceritanya eike tersinggung diminta bikin surat dengan editorial seperti itu*
Kemudian TS berkata bahwa hal ini harus dieskalasi ke unit lain karena bukan wewenangnya. This part i fully understood, karena di bank kan memang ada pemisahan tugas alias segregation of duties, ceunah. Saya bilang bahwa saya mengerti, dan menanyakan berapa lama. Dijawab sekitar 5 hari kerja. Kemudian saya pastikan bahwa dari pihak penerbit kartu lah yang akan menelepon dan jika tidak ada kabar, saya tutup saja kartu kredit dan akan tulis surat pembaca. *stengah ngancem stengah bluffing*
Babak 4 – How it end?
During nemenin the husband dan Junior nonton premier league, saya sibuk ketak ketik draft surat pembaca. Mumpung masih inget dengan siapa – siapa saya bicara dan kronologis kejadian. You know.. just in case.. Padahal tidak mungkin rasanya dimuat di surat kabar. Hla wong jadinya 3 halaman A4.
Kemudian senin pagi 25 April, saya terima telepon dari pihak card center bahwa kartu kredit saya dalam 15 menit sudah bisa dipakai karena saat itu blokir kartu sudah dibuka. Tanpa saya harus melakukan ini itu.
Ihuy! I won! And i’m impressed follow up-nya cepat. Hari Kamis 28 April juga TS personaly telepon saya lho. Make sure bahwa kartu kredit saya sudah bisa dipakai. Makasih ya, Pak.
Epilog
Tips yang (mungkin) berguna bagi yang mau melakukan keluhan melalui call center
§ Siapkan : fisik kartu kredit, tagihan yang akan dikeluhkan, ingat – ingat kronologis kejadian
§ Follow the procedure. Walaupun menyebalkan, namun memang customer service call center wajib untuk menyamakan data.
§ Jangan histeris tidak ada juntrungan. Remember, we want to be helped. Jadi bantu call center juga untuk tetap bicara dengan suara yang jelas.
§ Tanyakan keseluruhan prosedur pengajuan keluhan. Dan konfirm ulang : itu saja? Seharusnya keseluruhan pembicaraan call center direkam. Jadi kalau ada prosedur yang tidak disampaikan, berarti posisi kita kuat dalam meng-encounter balik ke pihak call center (asal jangan lupa ya.. sebenarnya sudah disampaikan)
§ Pastikan ingat nama customer service call center yang berbicara. Kalau perlu wrote it down. Sehingga if you want to point your finger, make sure you know who you’re pointing at.
§ Kalau merasa customer service yang menangani tidak cukup membantu, langsung saja bilang mau bicara dengan supervisor-nya.
§ Sedikit ancaman will do. Ihihihi.
§ Like it or not, pihak call center bukan dewa yang bisa menjawab semua masalah. Kadang ada hal yang harus dieskalasikan ke unit lain, sehingga you wont get the answer at the very moment.
§ Kalau merasa prosesnya tidak masuk akal, berargumenlah. Kemukakan alasan kenapa keberatan. Trust me, every bank want to retain their customer.
§ Kalau tidak puas dengan penyelesaiannya, ya.. tutup saja. Habis perkara =) masih banyak bank lain yang bisa dipilih toh?
§ Ob viously I didn’t send the letter nor close the card. Tanggal jatuh temponya bagus bok! =)
*UPDATE : Tagihan kartu kredit berikutnya datang, dan ternyata biaya sebesar 30rb itu dikembalikan. Ihiy! Suka deh sama ente, kartu!*
xoxo
JJ
No comments:
Post a Comment