Uruslah administrasi maksimal 3 bulan sebelum. Saya tidak menemui halangan di RT dan RW (malah disuguhin teh dan kudapan pas di Pak RT). Di kelurahan, curiganya petugas yang saya temui bukan yang resmi mengurus administrasi pernikahan. Dengan dalih lurah tidak di tempat, dan beliau mau menguruskan sampai ke KUA asal saya (karena berbeda dengan KUA kelurahan tempat resepsi), dia menyebutkan nominal untuk mengurus hal tersebut tanpa berani melihat mata saya (salah satu body language orang berbohong atau tidak enak hati). Karena saya juga bekerja dan tidak mungkin minta ijin terus untuk urus administrasi pernikahan, saya iyakan saja.
Di KUA kelurahan yang sesuai dengan tempat resepsi, yang konon tersohor mahal, yang saya dapatkan penghulunya tidak berani menyebutkan nominal. Katanya baru ada kejadian bahwa ada rekannya yang diperiksa, terkait ada pasangan yang melaporkan bahwa diminta sekian untuk biaya menikah. Namun memang beliau sempat sedikit menyelidiki latar belakang kami (baca : kerja dimana) dan menyebut range nominal tertentu, dengan nada bercanda (tapi yakinlah saya, kalau beneran saya kasih jumlah tersebut, dia akan tersenyum luebaaaar).
Menurut saya, selama masih masuk akal (walau yah… agak di luar prediksi), bayar saja dan ikhlaskan. After all, kehadiran beliau kan hal yang paling penting dari pada pesta resepsinya bukan? Sekaligus bentuk penghormatan dan terima kasih kami, beliau rela bangun minggu pagi (akad kami pukul 07.30) untuk menikahkan kami.
Oh iya, selain biaya penghulu (dibayar hari H), saat itu kami membayar Rp450.000,- untuk meterai, sumbangan PMI (tapi kok ga dikasih kuitansi??), dan biaya kursus calon penganten (suscaten) disebut sebesar Rp.350.000,- alasannya karena masih swadana dari KUA setempat dimana mencakup buku panduan, konsumsi, honor pembicara… Saya terima penjelasan itu…
No comments:
Post a Comment